Selasa, 17 Februari 2009

UU BHP Perlemah Profesi Guru

Ketentuan perjanjian kerja yang tertuang di dalam Undang-Undang Badan Hukum Pendidikan cenderung memperlemah profesi guru. Makna guru direduksi menjadi sekedar pekerjaan, bukan profesi. Sistem kontrak yang biasa ada di perburuhan pun bakal kian legal diterapkan.

Ketua Federasi Guru Independen Indonesia (FGII) Jawa Barat, Ahmad Taufan, Rabu (4/1) mengatakan, keten tuan ini merugikan. Guru tidak bisa disamaratakan dengan pekerja. Sebab, profesi ini memiliki pendidikan dan tanggung jawab khusus. "Guru jelas bukan pekerja. Karena, tugasnya bukan berkaitan dengan benda mati. Ia mengajar, juga mendidik dan membimbing," paparnya.

Ketentuan perjanjian kerja ini diatur di dalam Pasal 55 UU Nomo 9/2009 tentang BHP. Di UU itu, guru diganti istilahnya sebagai pendidik. Tiap-tiap BHP wajib membuat perjanjian kerja baru dengan karyawannya, termasuk guru yang berstatus PNS sekalipun. Menurut Ahmad, ketentuan ini menyiratkan hubungan guru dan sekolah ke depan bakal lebih bersifat kontraktual.

Menurut Darmaningtyas, pengamat pendidikan, ketentuan UU ini telah mereduksi makna guru dan sekolah. Menjadikannya sekadar institusi (orang) yang bisa melakukan perbuatan hukum. Bukan sebagai suatu komunitas tempat berlangsungnya proses budaya dan pemanusiaan manusia dimana guru ambil bagian sebagai pembawa lilinnya. "Jika ini dibiarkan, akan terjadi suatu praksis pendidikan yang kaku," tuturnya.

Konsultan BHP Departemen Pendidikan Nasional Johanes Gunawan berpendapat senada, UU BHP dapat menggeser guru dari sebelumnya profesi menjadi pekerja. Ia pun mengakui, UU BHP dapat menimbulkan komplikasi hukum. "Dengan ketentuan ini, mau tidak mau guru ditempatkan tunduk di dalam Undang-Undang Ketenagakerjaan. Tetapi, UU ini kurang cocok diterapkan ke guru karena ini kan profesi khusus," ucapnya.

Menurutnya, perlu segera dilakukan revisi terhadap UU Ketenagakerjaan. Sistem percobaan karyawan baru, misalnya, sangat tidak cocok diterapkan ke profesi guru atau dosen. Sebab, profesi ini unik dan punya tanggung jawab berbeda dengan jenis pekerjaan lainnya. "Saya sudah pernah sampaikan ini saat pembahasan (RUU BHP). Perlu ada slot khusus tentang guru di UU Ketenagakerjaan agar tidak rancu," ucapnya.

Renumerasi guru PNS

Meskipun demikian, ia menjamin, ketentuan perjanjian kerja ini ti dak merugikan guru-guru PNS. Mereka tetap mendapatkan renumerasi dari pemerintah sesuai ketentuan lalu ditambah dari pihak BHP jika memungkinkan.

Ketua Umum Dewan Pimpinan Pusat FGII Suparman berpendapat, ketentuan soal perjanjian kerja di UU BHP akan menimbulkan persoalan kian bertambahnya mata rantai birokrasi pengangkatan dan pemberhentian guru (PNS) sekaligus melanggengkan sistem guru kontrak. Serupa dengan perundang-undangan lainnya, UU BHP tidak memberikan kepastian terhadap guru mengenai adanya standar upah minimum.

Namun, jika UU ini konsekuen menundukkan guru kepada UU Ketenagakerjaan, ia berpendapat, itu justru baik. Guru-guru swasta, khususnya honorer, jadi akan memiliki pegangan untuk mendapatkan hak-hak seperti upah minimum provinsi, mogok ke rja, dan tunjangan jamsostek. "Selama ini, hak-hak ini kan sulit dipenuhi. Konsekuensinya, guru itu disebut sebagai pekerja khusus atau profesi," ungkapnya.

(Kompas, Rabu, 4 Februari 2009 | 20:03 WIB)

Facebook dan Perilaku "baru"

Facebook sebagai sarana social networking membuka wacana baru tentang makna hubungan sosial. Berikut adalah catatan-catatan pribadi saya selama 14 bulan terakhir menjelajah dunia facebook.

Dari sisi perilaku pengguna, tampak bahwa facebook memberi kesempatan pengguna untuk menampilkan insecurity yang terpendam.

Ada yang secara autentik menjadikan facebook sebagai perpanjangan diri (terlepas dari apakah konsep diri ini sehat ataupun tidak).

Ada juga yang memanfaatkan facebook sebagai sarana memperoleh popularitas dan pencitraan publik. Beberapa politikus sudah masuk ke facebook. Suka atau tidak suka, sebagai medium memang facebookmemungkinkan ini.

Satu hal yang menarik adalah berubahnya konsep "jarak sosial" yang kita kenal selama ini. Konsep ruang pribadi menjadi nisbi. Untuk generasi saya, yang mayoritas saat lahir belum kenal komputer dan baru belajar komputer saat beranjak akil baligh atau lebih dewasa lagi, hal ini bisa betul-betul menggentarkan. Dahulu konsep akan orang asing, kenalan dan sahabat adalah konsep yang gamblang.

Di facebook, konsep ini menjadi hilang relevansinya. Jika tidak secara khusus kita atur privacy set-up di facebook (dan menurut pendapat saya set-up privacy ini masih sangat primitif dan masih jauh dari mendekatistruktur sosial manusia yang telah terbangun ribuan tahun), makasecara otomatis setiap orang yang terhubung dengan kita bisamengetahui gerak-gerik kegiatan kita dan bisa sok kenal, sok dekat.

Ada kawan yang mengaku bahwa sebagai "facebook addict" setiap beberapa menit sekali melalui smartphone nya dia memerika status facebook friends yang memang ter-update secara otomatis.

Jika kita layangkan ingatan sepuluh hingga lima belas tahun lalu, di dunia korporasi sudah ada "pemaksaan perilaku" melalui aplikasi-aplikasi yang disebut "enterprise resource planning" semisal SAP, BAAN, JD Edwards, Oracle, PeopleSoft dan sebagainya. Menawarkan "best practice" dan optimasi sumber daya serta peningkatan produktivitas, aplikasi-aplikasi ini sebetulnya memaksakan logika perangkat lunak mereka kepada perusahaan pengguna. Logika usaha, proses-proses usaha diminta untuk sedapat mungkin mengikut gaya "plain vanilla" implementasi mereka. Yang lazim terjadi setelah implementasi aplikasi korporat adalah perlunya "social engineering" dimana perilaku organisasi menjadi perlu diselaraskan secara terpaksa dengan perilaku perangkat lunak ini.

Dengan proliferasi facebook melalui web ke seluruh dunia, kita menghadapi kenyataan baru. Setiap manusia, dimanapun ia, pada generasi yang melek internet saat ini, yang memilih untuk masuk menjadi anggota komunitas facebook, dipaksa perilakunya untuk tunduk pada logika perilaku aplikasi facebook. Semua orang secara otomatis tampak seolah mendapat angin, pancingan sosial untuk menjadi asertif. Dengan adanya kotak status "what are you doing at the moment?" pengguna dipancing untuk mengisinya dengan apa yang dilakukannya yang paling mutakhir. Pula hadirnya berbagai fitur yang terkesan narsistik dan ekshibisionis.

Pengalaman pribadi saya, pada bulan pertama menggunakan facebook adalah belajar untuk mengkonfigurasi facebook untuk bisa menirukan perilaku sosial saya di dunia nyata. Saya lakukan ini, karena bagi saya dunia sosial saya sudah terbentuk dari dunia nyata, sehingga social networking di dunia maya perlulah disesuaikan dengan kenyataan keseharian yang saya hadapi.

Reaksi seorang anak SD atau ABG tentunya akan berbeda. Dengan konsep interaksi sosial yang belum lengkap, tentunya akan jauh lebih mudah bagi mereka untuk menyerap habis logika temali sosial yang disediakan facebook. Ada kemungkinan besar pemahaman mereka akan jejaring sosial di dunia nyata justru akan dibentuk oleh logika facebook.

Saya kira dalam beberapa waktu ke depan akan lebih banyak psikoanalis, social analysts, yang akan berminat meneliti hal ini, atau malah mungkin akan dipekerjakan oleh facebook, atas dasar kebutuhan personal maupun sosial - karena pada akhirnya facebook menyentuh pondasi paling mendasar dari cara kita memaknai dunia - kewarasan yang kita konstruksi tentang dunia sekitar kita, harga diri, serta citra diri kita masing-masing.

Dari sisi yang lebih ringan, facebook juga menjadi sarana untuk menghabiskan waktu. Beberapa game yang ada di facebook bersifat adiktif - waktu berjalan begitu cepat saat saya "sibuk" - tepatnya sibuk bermain!

Resolusi di awal tahun baru saya kemarin adalah "less facebook, more real life." yang saya maksud adalah mendedikasikan waktu saya untuk kerja bermakna. Saya tidak katakan "no facebook" dengan kesadaran ternyata sulit lepas dari facebook. Sama halnya dengan mengatakan "no email, no sms, no cellphone" rasanya perlu upaya yang tidak sederhana untuk menanggalkan itu semua.

Dari sisi lain, saya memang merasa berhasil mengurangi volume transaksi percakapan dengan telepon genggam, volume mengirim dan menerima sms, serta volume berkirim dan terima email. Ternyata efisiensi di tiga lini ini diseimbangkan dengan terpikatnya saya dengan facebook - sehingga efek netto nya tidak bertambah produktif :)

Beberapa kawan yang menganut teori konspirasi berpaham lain. "Ini profiling" kata mereka. Bayangkan bahwa administratur facebook bisa punya keleluasaan tak hanya tahu profil pribadi kita, namun juga jejaring sosial yang kita miliki hingga perilaku yang tampak pada foto-foto yang terpampang dengan megahnya. "Kalau sudah profiling, tak bisa dicegah penggunaannya untuk keperluan apapun - pemasaran, maupun spionase" demikian lanjut sang kawan yang khawatir namun tetap saja ketagihan facebook.

Saya tidak tahu apa business model facebook ke depan. Dari sisi kebutuhan kemanusiaan, jika memang arah "social networking" ini diarahkan menembus sekadar kebutuhan kapitalistik dan kewirausahaan, akan diperlukan kepemimpinan yang visioner di jajaran manajemen
facebook untuk menggagas facebook bukan sekadar sebagai "social network" namun juga sebagai potensi sarana pemberdayaan untuk memungkinkan yang terbaik yang dapat ditawarkan untuk kemanusiaan. Facebook berpotensi untuk mengubah cara kita berelasi satu sama lain dalam skala global. Facebook berpotensi untuk menjadi penawar racun berbagai permasalahan sosial yang telah dan sedang terjadi di sekitar kita, khususnya masalah keterasingan dan kehilangan makna pribadiditengah ramainya massa dunia. Facebook berpotensi membantu sesamamanusia untuk memanusiakan manusia.

Denny Turner
(Anggota Yayasan Lazuardi)

Kamis, 01 Januari 2009

CAREER DEVELOPMENT - Developmental Goals of Counseling and Guidance

Adapted From: Developmental Program of Guidance and Counseling
Pennsylvania Department of Education, 1992

Early Childhood - Grade Pre K-2
Develop a positive attitude toward work.
Be aware that work can help us to achieve personal success.
Develop an awareness of what it means to work and of one’s personal interests and preferences.
Understand the importance of personal responsibility, dependability and other good work habits.
Be aware of a variety of careers in the community and the student’s view toward them.
Develop an awareness of the relationship between learning and work.
Be able to describe the work of family members, school personnel and workers I the community.
Be aware of the changing roles of males and females in the workplace.
Be aware of individual responsibilities in the family and how these prepare one for responsibility in the workplace.
Develop awareness that persons who work in their communities are a source of information about careers.
Know about some of the important jobs that are required in the community.

Grades 3 - 5
Learn to appreciate the dignity of every kind of work.
Learn how to relate personal interests, leisure time activities and abilities to possible occupational choices without prejudice, bias or stereotyping.
Understand that effective work habits in school transfer to occupational settings.
Understand the relationship between the needs of the community and the work performed by community members.
Understand how decision making is related to career planning.
Develop an awareness of the relationship between the importance of school subjects and future occupational choices.
Be aware of non-traditional occupations.
Recognize that sex role stereotypes, bias and discrimination limit choices, opportunities and achievement of personal goals.
Understand the terms and concepts used in describing employment opportunities and conditions.
Recognize reasons why people may choose certain careers and why choices may change.
Be aware of the concept of career clusters and the relationship of occupations in a cluster to interests and abilities.
Learn the importance of working cooperatively with others at home and in school.
Develop an awareness of one’s personal health and how it relates to successful employment.

Grades 6 - 8
Understand that the achievements of one’s goals in life are related to a positive attitude toward work and learning.
Learn how to use a career planning process by preparing an individual education/career plan for middle school and anticipate changes due to personal maturation and societal needs.
Develop an awareness of the level of competency in academic areas needed to achieve career goals.
Understand how interests, work values achievements, and abilities impact upon the career choice.
Learn how non-traditional occupations offer expanded career opportunities. Understand what employers expect of applicants and employees.
Learn about leisure and recreational activities that best fit personal needs and interests and contribute to personal satisfaction.
Understand the personal qualities, e.g., dependability, punctuality, getting along with others, which are needed to secure and keep a job.
Know about training opportunities in the community which will enhance employment potential.
Develop knowledge of the relationship between school subjects and future educational and occupational choices without regard for prejudice, bias or stereotyping.
Be aware of alternate educational and vocational choices and the corresponding preparation for them.
Understand how geography affects career opportunities.
Understand the challenges, adjustments and advantages of non-traditional occupations.
Be aware of employment trends as they relate to training programs and employment opportunities in the local community.
Be aware of the factors which impede performance and productivity in the workplace.

Grades 9 - 12
Learn how to modify career/educational plan based upon realistic assessment of strengths, needs and achievements in both academic and non-academic areas.
Know how to select a program of studies based upon current career information which will prepare for the demands of the selected occupation/career.
Understand how personal preferences and interests will influence career choices and success.
Learn to get along with others by using human conflict management skills with peers and adults.
Understand the employment application and interviewing process and develop effective interviewing techniques.
Understand the importance of “dressing for success.”
Develop a personal resume, letter of application, portfolio and other appropriate correspondence.
Learn how to conduct a job search by using a variety of sources of career information.
Identify available employment opportunities and their requirements during and after high school.
Know the benefits, working conditions and opportunities for advancement in jobs or careers related to personal interests.
Understand and use the “networking” process.
Understand the importance of sound work habits and the need to be productive.
Understand the continuing changes of male/female roles and how this relates to career choice.
Understand how current decisions and choices affect the future. Be prepared to enter the job market by demonstrating employability skills.
Understand how to manage change in and ever-changing economic world.
Be aware of employer / employee relations which operate in the workplace.
Understand that the changing world of work demands lifelong learning and training.
Understand the importance of a drug-free workplace.
Be aware of the logistics and economic requirements for finding and holding employment.
Know what to look for when choosing a job, e.g. type of work, benefits, location, opportunities for advancement, etc.
Know how to budget for the future.

Community Connections

Business and Industry
Chamber of Commerce
Speakers Bureau
Pennsylvania Job Centers - Employment and Placement Agencies
Youth Apprenticeship / Employment Programs
Career Planning / Placement Offices
Community Colleges
Libraries
Career Resource Materials
Career / Job Fairs
School / Business Partnerships
Shadowing Programs
Mentor Programs
Academic/Corporate Partnerships
County / Regional / State School-To-Work Councils
Service Learning / Volunteerism

Additional Programs for Career Development
Career Academies
Portfolio Development
Vocational Technical Schools
Vocational Student Organizations
Cooperative Education
Explorer Posts (BSA – Boy Scouts of America Exploring Division)

Menjadi Seorang Konselor

Kepada Anda, pembaca, saya mengucapkan “Selamat Datang”.

Pertama, perkenankan saya untuk memperkenalkan siapa saya. Nama saya adalah David, dan nama itu cocok dengan saya. Umur saya adalah 56 tahun, dan saya adalah seorang ayah dan kakek. Pekerjaan saya adalah sebagian besar dari diri saya. Saya adalah seorang konselor full-time dalam sebuah agen konseling, dan setelah beberapa tahun bekerja sebagai konselor pribadi, saya sekarang berspesialisasi dalam terapi keluarga. Pada umumnya, pekerjaan ini mendorong dan memuaskan, namun terkadang penuh dengan stres dan dapat melelahkan.

Saya percaya akan kesamaan seksualitas, dan saya sadar saat menulis buku ini bahwa saya adalah seorang pria, dan sebagaimanapun keras saya berusaha, saya akan tetap menulis dari sudut pandang laki-laki. Mudah-mudahan Anda dapat menerima kondisi ini, karena mungkin ada hal-hal yang tidak selalu pas dalam tulisan saya.

Saya berharap Anda dapat menikmati isi buku ini dan berguna buat Anda. Karena jika Anda membaca buku ini, maka tebakan saya Anda berencana untuk belajar sebagai konselor, atau Anda berurusan dalam melatih orang lain sebagai konselor. Tujuan utama saya menulis buku ini untuk para pelajar konseling, dan ketika menulisnya saya ingat perasaan saya waktu saya mulai belajar konseling. Perasaan dan sikap saya saat itu sangat berbeda dengan perasaan dan sikap saya saat ini. Namun justru perasaan dan sikap saya saat itu yang memotivasi saya untuk maju. Saya mereka-reka apa yang Anda pikirkan ketika Anda memutuskan untuk belajar sebagai konselor. Apa motivasi Anda? Berhenti dahulu semenit untuk memikirkannya. Tanyakan diri Anda, “Mengapa saya ingin menjadi konselor?” dan jika Anda memiliki energi yang cukup, tuliskan jawaban Anda di atas kertas agar Anda dapat hubungkan nanti.

Jawaban itu, tentunya, adalah jawaban pribadi Anda, namun dapat juga jawaban Anda cocok dengan satu dari dua karakter yang memungkinkan. Dapat saja Anda menuliskan jawaban itu sebagai kebutuhan diri Anda. Mungkin saja Anda membayangkan bahwa dengan menjadi konselor Anda bisa mendapatkan status, kekuatan atau kepuasan. Mungkin Anda berpikir bahwa konseling dapat memberikan tambahan kualitas baru dan kekayaan bagi kepribadian Anda. Namun mungkin juga ketika Anda menuliskan jawaban, Anda tidak memikirkan kebutuhan Anda sama sekali. Mungkin Anda ketika itu hanya memikirkan bagaimana Anda dapat memenuhi kebutuhan orang lain. Mungkin Anda menuliskan seperti ini: “Saya ingin menjadi konselor karena saya peduli terhadap orang lain, dan saya ingin menolong mereka.” Kebanyakan dari para konselor adalah orang-orang yang peduli terhadap sesamanya, dan keinginan untuk menolong orang lain adalah bagian penting dari motivasi mereka. Namun penting pula untuk Anda untuk menyadari bahwa Andapun dapat menjadi seorang konselor dengan tujuan utama untuk memenuhi kebutuhan orang lain, namun di saat yang sama, Anda dapat pula memuaskan sebagian dari kebutuhan Anda. Contohnya Anda akan mendapatkan kepuasan dari menolong orang lain. Pembahasan ini mungkin tidak Anda anggap perlu pada saat ini, namun hal ini penting karena motivasi Anda untuk menjadi konselor akan mempengaruhi fungsi profesi konselor macam manakah yang akan Anda jalani. Penting untuk Anda menyadari apa motivasi Anda dan kebutuhan pribadi yang manakah yang Anda harap penuhi. Dengan kesadaran ini Anda dapat lebih sanggup untuk menghindari ikut campurnya pemenuhan kebutuhan Anda dalam proses konseling, dan juga kesanggupan Anda dalam memenuhi kebutuhan para klien.

Untuk dapat memenuhi kebutuhan para klien, seorang konselor harus memiliki pemahaman mengenai maksud dan tujuan proses konseling. Jika saya ingin menjadi konselor yang efektif, saya harus mengerti apa itu yang namanya menjadi keefektifan. Menilai keefektifan konselor biasanya dilakukan secara subyektif dan terdapat dua perspektif yang berbeda – dari klien maupun konselor. Penilaian mengenai keefektifan dari para klien mungkin berbeda dengan dari perspektif konselor. Jadi saya meminta Anda, pembaca, untuk selama beberapa menit melihat pertama harapan para klien, dan kemudia harapan seorang konselor.

Untuk memahami pandangan klien, sangat berguna untuk melihat alasan-alasan mengapa para klien mencari konselor. Bagi kebanyakan orang, bukanlah hal yang mudah untuk membuat janji dan pergi bertemu konselor. Nilai-nilai dalam masyarakat kita melihat hal tersebut sebagai tanda kelemahan seseorang dalam mengatasi dirinya sendiri sehingga harus memerlukan bantuan pihak luar. Kecenderungan ini membuat orang-orang yang dibebani tanggungjawab besar enggan untuk menemui konselor. Orang-orang ini berpikir bahwa rekan-rekan mereka akan berpikir bahwa mereka tidak sanggup dalam memenuhi tanggungjawab mereka jika mengakui telah bertemu dengan konselor. Akibatnya, orang-orang ini tidak mendapat bantuan koselor hingga kondisi emosional mereka menjadi lebih bermasalah dan kemampuan mereka untuk melaksanakan kegiatan harian menjadi rusak. Dan kemudian merekapun tak dapat menutupi kesakitan dan stres emosional mereka dari yang lainnya.

Seringkali klien bertemu dengan konselor dengan harapan yang tak masuk akal yang ia bayangkan akan didapat dari sesi konseling. Seringkali klien akan berharap bahwa konselor akan memberi saran langsung, mengatakan kepadanya hal apa yang harus dilakukan, sehingga di akhir sesi konseling ia sudah dapat memecahkan persoalannya. Kebanyakan konselor akan sependapat bahwa mereka tak akan dapat memenuhi harapan klien seperti di atas. Lebih-lebih lagi, ada banyak hal yang tidak menguntungkan buat klien jika konselor mencoba untuk memecahkan persoalan klien.

Ada beberapa hal yang membahayakan dalam memberikan saran. Pertama, manusia sangat menentang dalam menerima saran. Bahkan sejumlah konselor merasa terkejut melihat bagaimana klien menolak saran. Dalam sesi konseling yang telah berlangsung lama, metode paradoks kedang digunakan agar klien disarankan untuk melakukan yang berlawanan dari yang dikehendaki konselor! Konselor lain memberikan saran langsung, namun hal ini dapat menjadi counter-productive bahkan ketika klien mengikuti saran konselor. Jika saran yang diberikan salah, jalas bahwa konselor telah melakukan lawan dari pelayanan, dan jelas juga bahwa klien tidak akan senang terhadap itu. Di lain pihak, jika saran yang diberikan mengandung aspek positif, tetap saja ada bahaya yang terkandung dalam proses jangka panjang. Dengan kondisi seperti ini, klien tidak memecahkan persoalannya sendiri, sehingga konselor menjadi tujuan setiap kali ia hendak mengambil keputusan. Hal ini jelas tidak diinginkan. Salah satu tujuan utama konselor adalah mengajari atau mendorong klien untuk menjadi percaya diri dengan kemampuannya dalam mengambil keputusan. Untuk jangka panjang, tidaklah membantu jika klien bergantung pada saran yang diberikan konselor. Klien akan jauh lebih terbantu dan berguna jika ia menjadi percaya diri dan mampu membuat dan percaya terhadap keputusannya.

Jika saya ingin menjadi konselor yang efektif, maka saya harus mempunyai pemahaman yang jelas mengenai tujuan-tujuan konseling. Salah satunya adalah untuk membuat klien merasa lebih baik, minimal merasa nyaman, terutama dalam jangka panjang. Tujuan lain adalah untuk membantu klien untuk menjadi lebih dapat mencukupi dirinya dan terbiasa untuk menggunakan cara yang konstruktif dalam menghadapi masalah yang sedang dan akan ia hadapi, tanpa bantuan yang terus-menerus. Kepentingan klien dan konselor adalah memajukan ketahanan perubahan jangka panjang, daripada sibuk dengan pemecahan persoalan jangka pendek. Seorang konselorpun akan merasa frustrasi jika kliennya setiap kali muncul dengan permasalahan barunya. Penting bagi seorang konselor untuk merasakan kepuasan dengan melihat kliennya tumbuh menjadi lebih kuat dan mampu menghadapi masalah, senyata mungkin, tanpa bantuan luar.

Tujuan konseling lain yang diinginkan adalah membawa perubahan terhadap klien secepat mungkin. Jelas bahwa keefektifan konselor juga dilihat jika perubahan yang ia ciptakan dapat terjadi lebih cepat. Namun perlu disadari pula bahayanya dalam menciptakan perubahan fana yang tidak berkepanjangan, dan gagal dalam membangkitkan kemampuan klien dalam menghadapi persoalan di masa mendatang secara efektif.

Seperti yang telah dibahas di atas, sering terjadi ketidak serasian dalam harapan klien dan tujuan konselor. Ada beberapa cara untuk menanggulangi masalah ini. Salah satu cara, tentunya, adalah membiarkannya dan meneruskan proses konseling. Sejumlah konselor melakukan hal ini. Namun pendekatan alternatif adalah dengan melakukan diskusi secara terbuka dengan klien mengenai harapannya dan memformalisir kontrak konseling yang diterima oleh keduanya.

Ringkasnya, kebanyakan konselor tidak memberi saran, tidak memecahkan masalah dan tidak menciptakan solusi jangka p[endek yang tidak menguntungkan dalam jangka panjang. Namun mereka membantu klien memecahkan kebingungan mereka sendiri, dan dengan ini mereka menjadi mampu untuk menemukan solusi yang cocok untuk masalah mereka. Kadang kala, konselor melihat solusi ini bukan pemecahan yang terbaik bagi kliennya. Namun penting bagi klien untuk membuat keputusan yang ia anggap terbaik untuk dirinya. Ia kemudian dapat menguji keputusannya dan belajar dari pengalamannya, daripada harus terus bergantung pada kearifan konselornya.

Ada bermacam gaya konseling yang kebanyakan konselor gunakan sebagai pendekatan pilah-pilih (eclectic), mengambil pemahaman dari sejumlah pemikiran. Buku ini awali dengan menggunakan, sebagai dasar, gaya konseling tanpa petunjuk (non-directive) yang berasal dari Carl Rogers, dan berakar dari dasar tersebut, muncul ide-ide konseling dinamis lainnya dari bermacam terapi, diantaranya Terapi Gestalt, Terapi Retional Emotive, dan Neuro-linguistic Programming.

Gaya konseling yang pada akhirnya Anda pakai adalah gaya yang paling cocok dengan kepribadian Anda. Apa gaya itu tidak berarti banyak, karena penelitian menemukan bahwa kunci dari membantu klien adalah hubungan klien-konselor. Hal yang penting adalah hubungan antar klien dan konselor haruslah cocok untuk menciptakan perubahan therapeutic.

Ringkasan Pembelajaran

Konselor butuh untuk menyadari motivasi mereka karena hal tersebut mempengaruhi efektifitas mereka.
Harapan para klien sering bertolak belakang dengan tujuan konselor.
Para klien sering meminta saran langsung dan solusi untuk masalah mereka.
Konselor pada umumnya mencoba untuk memberdayakan klien agar mereka dapat menjadi lebih dapat mencukupi diri dan dapat menemukan solusi sendiri daripada bergantung pada saran orang lain.
Kebanyakan konselor menggunakan pendekatan pilah-pilih (eclectic) yang mengambil dari tipe terapi yang paling cocok dengan kepribadian mereka.
Hubungan klien-konselor adalah kunci dalam menciptakan perubahan.

Maafkan Kami Gaza

Hanya lihat & pasang mata.
Hanya marah & merah mata.
Hanya sedih & air mata.
Hanya doa & merah mata.
Hanya pekik & sorot mata.
Hanya malu & tutup mata.
Hanya suara & kata.
Hanya simpati & cinta.
Maafkan kami, Gaza.
Bocah-bocah Gaza! Jangan adukan Kami kepada Muhammad.
Kami di Indonesia, jauh dari Gaza. (ML)

http://muhsinlabib.wordpress.com/

Abstrak : Kekerasan Atas Nama Disiplin di Sekolah

Studi Disiplin di Sekolah (Kekerasan Atas Nama Disiplin di Sekolah).
Skripsi. Jakarta: Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Negeri Jakarta, 2007.
oleh : Nabilah

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui lebih dalam mengenai gambaran penyelenggaraan disiplin melalui tata tata tertib terhadap siswa di sekolah, yaitu guna mencari tahu bagimana disiplin melalui tata tertib tersebut ditentukan dan dilaksanakan di sekolah yang sanksinya mungkin dapat berupa kekerasan oleh guru sebagai ekses dari hidden curriculum.

Penelitian menggunakan pendekatan kualitatif dengan metode deskriptif. Pemilihan lokasi penelitian di SMP Negeri xx Jakarta, dengan menggunakan purposive sampling, informan terdiri empat orang, tiga orang guru mata pelajaran dan seorang staff bidang kesiswaan.

Pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan wawancara mendalam, observasi partisipatif, dan studi dokumentasi dan dianalisis dengan menggunakan Analisis Perbandingan Tetap Bogdan dan Biklen.

Hasil penelitian menunjukan bahwa dalam pelaksanaan disiplin melalui tata tertib terjadi kekerasan dalam bentuk kekerasan fisik, verbal emosional dan pengabaian di SMP Negeri xx Jakarta. Kekerasan terjadi akibat tidak jelasnya bentuk sanksi yang tertulis atas pelanggaran yang siswa lakukan, sehingga dalam situasi seperti inilah Hidden Curriculum berperan. Karena guru bertindak berdasarkan pada apa yang diyakininya dan pertimbangan-pertimbangan pribadi dalam mengatasi persoalan disiplin siswa.

Implikasi dari penelitian ini adalah tidak tertutupnya kemungkinan-kemungkinan terdapatnya fenomena yang serupa terjadi di sekolah-sekolah lain. Akan tetapi terjadi dalam situasi dan kondisinya kurang disadari keberadaanya selama ini. Jika situasi sedemikian dibiarkan terjadi, dikhawatirkan tujuan pendidikan yang sebenarnya akan sulit untuk dicapai.