Selasa, 09 Desember 2008

Konseling Islami


Oleh : Prof. Dr. Syamsu Yusuf LN, M.Pd.


A. Pengertian
Terkait dengan konseling islami ini berikut dikemukakan beberapa pengertiannya, yaitu :
1. Imam Magid (Www. Isna. Net/library/paper 2003) mengemukakan bahwa “Islamic Counseling emphasizes spiritual solutions, based on love and fear of Allah and the duty of fulfil our responsibility as the servants of Allah on this earth”. Selanjutnya dia mengemukakan bahwa konseling islami itu dioreintasikan untuk memecahkan masalah (a) pernikahan dan keluarga, (b) kesehatan mental, dan (c) kesadaran beragama.
2. Proses bantuan yang diberikan kepada individu (baik secara perorangan maupun kelompok) agar memperoleh pencerahan diri dalam memahami dan mengamalkan nilai-nilai agama (aqidah, ibadah, dan akhlak mulia) melalui uswah hasanah (contoh tauladan yang baik), pembiasaan atau pelatihan, dialog, dan pemberian informasi yang berlangsung sejak usia dini sampai usia tua, dalam upaya mencapai kebahagiaan dunia dan akhirat”.
3. Proses pemberian bantuan kepada individu agar mampu mengembangkan kesadaran dan komitmen beragamanya (primoldial kemakhlukannya yang fitrah = tauhidullah) sebagai hamba dan khalifah Allah yang bertanggung jawab untuk mewujudkan kesejahteraan kebahagiaan hidup bersama, baik secara fisik-jasmaniah maupun psikis-ruhaniah, baik di dunia ini maupun di akhirat kelak”.
4. Proses pemaknaan diri dalam kebermaknaan sosial, atau proses pengembangan pribadi yang bercirikan kesalihan individual (ritual) dan kesalihan sosial.

B. Prinsip
Menurut dia, konseling islami mempunyai beberapa prinsip, yaitu : (a) kerahasiahan (confidentiality), (b) kepercayaan (trust), (c) kecintaan berbuat baik kepada orang lain, (d) mengembangkan sikap persaudaraan, atau menciptakan sikap damai di antara sesama, (e) memperhatikan masalah-masalah kaum muslimin, (f) memiliki kebiasaan untuk mendengarkan yang baik, (g) memahami budaya orang lain, (h) adanya kerjasama antara ulama dan konselor, (i) memiliki kesadaran hukum, (j) bertujuan untuk meningkatkan keimanan dan ketaqwaan kepada Allah, dan (k) menjadikan Nabi Muhammad SAW sebagai model (uswah hasanah) utama dalam kehidupan, khususnya menyangkut sikap kasih sayangnya kepada orang lain.
Konseling ini merupakan proses motivasional kepada individu (manusia) agar memiliki kesadaran untuk “come back to religion”. Karena agama akan memberikan pencerahan terhadap pola sikap, pikir, dan perilakunya kearah kehidupan personal dan sosial yang “Sakinah”, “Mawaddah”, “Rahmah” dan “Ukhuwwah”, sehingga manusia akan terhindar dari mental yang tidak sehat, atau sifat-sifat individualistik, nafsu eksploitatif (tamak atau rakus), borjuistik, materealistik dan hedonistik (hubbud dunya wakaraahiyatul maut), yang menjadi pemicu munculnya malapetaka kehidupan di muka bumi ini (Alfasaadu fil ardhi). Orang yang punya penyakit rohaniah hubbud dunya wakaraahiyatul maut, dalam memenuhi kebutuhan hidupnya, atau keinginan-keinginannya tidak lagi memperhatikan norma agama atau etika moral (batal-haram), tetapi menggunakan prinsip menghalalkan segala cara (seperti dalam meraih jabatan atau harta kekayaan dia melakukan korupsi, mencuri, kolusi, memalsukan ijazah, berjanji palsu/berbohong, membunuh orang lain yang dianggap saingannya, dan merusak lingkungan hidup).

C. Tujuan
Berdasarkan makna di atas, maka layanan konseling islami secara umum bertujuan agar individu menyadari jati dirinya sebagai hamba dan khalifah Allah, serta mampu mewujudkannya dalam beramal shaleh (ibadah mahdloh/hablum minallah, dan goir mahdlah/hablum minannaas) dalam rangka mencapai kebahagiaan hidup di dunia dan akhirat.
Secara khusus, konseling islami bertujuan membantu individu agar memiliki sikap, kesadaran, pemahaman, atau perilaku sebagai berikut.
1. Memiliki kesadaran akan hakikat dirinya sebagai makhluk atau hamba Allah. Keberadaan manusia di dunia bukan kemauan sendiri, atau hasil proses evolusi alami, melainkan kehendak Yang Maha Kuasa, Allah Rabbul ‘Alamin. Dengan demikian, manusia dalam hidupnya mempunyai ketergantungan kepada-Nya. Manusia tidak bisa lepas dari ketentuan-Nya. Sebagai makhluk, manusia berada dalam posisi lemah (terbatas), dalam arti tidak bisa menolak, menentang, atau merekayasa yang sudah dipastikan-Nya. Sebagai hamba Allah, maka manusia mempunyai tugas suci beribadah kepada-Nya.
2. Memiliki kesadaran akan fungsi hidupnya di dunia sebagai khalifah Allah. Manusia berdasarkan fitrahnya adalah makhluk sosial yang bersifat altruis. Menilik fitrahnya ini, manusia memiliki potensi atau kemampuan untuk untuk berinteraksi sosial secara positif dan konstruktif dengan orang lain, atau lingkungannya. Sebagai khalifah Allah, manusia mengemban amanah, atau tanggung jawab untuk menciptakan tatanan kahidupan masyarakat yang nyaman dan sejahtera, dan berupaya mencegah terjadinya pelecehan nilai-nilai kemanusiaan dan pengrusakan lingkungan hidup. Dalam Surat al-Baqarah : 30 Allah berfirman “Dan ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat, sesungguhnya Aku menciptakan khalifah di muka bumi”. Selanjutnya dalam surat Hud : 61 difirmankan “Dia telah menciptakan kamu dari tanah dan menugaskan kamu untuk memakmurkannya”.
3. Memahami dan menerima keadaan dirinya sendiri (kelebihan dan kekurangannya) secara sehat. Disini ada kesadaran bahwa manusia diciptakan dalam kondisi yang berbeda-beda, baik dari segi fisik maupun mental. Ada yang tinggi dan ada juga yang pendek, ada yang cantik dan ada juga yang jelek, ada yang pintar dan ada juga yang bodoh, ada yang postur tubuhnya utuh dan ada juga yang cacat. Itu semuanya adalah taqdir Ilahi yang harus diterima dengan keihlasan. Sikap ikhlas inilah yang memperkuat pribadi seseorang untuk bersikap respek terhadap dirinya (tidak mengidap penyakit inferioritas, rendah diri), sabar dan optimis dalam menjalani kehidupan.
4. Memiliki kebiasaan yang sehat dalam cara makan, tidur, dan menggunakan waktu luang. Makan dan minum yang berlebihan (israf) atau yang haram (minuman keras atau narkoba), tidur yang tidak teratur, dan penggunaan waktu luang dengan kegiatan-kegiatan yang tidak baik (bergaul dengan teman yang tidak baik, keluyuran di malam hari, atau bermain dengan tidak mengenal waktu) akan mengakibatkan fisik dan mental tidak sehat, dan bahkan mengalami penyakit yang kronis.
5. Bagi yang sudah berkeluarga seyogyannya menciptakan iklim kehidupan keluarga yang fungsional. Keluarga yang fungsional itu adalah yang dapat memenuhi kebutuhan fundamentalnya (fundamental needs), baik yang bersifat biologis-material (pangan, sandang, dan papan), mental-psikologis (kasih sayang, perhatian, perawatan dan pendidikan), maupun moral-spiritual (penanaman nilai-nilai atau ajaran agama =religious values, yaitu : aqidah, ibadah, dan akhlak melalui uswah hasanah, pengajaran, dan pembiasaan/pelatihan). Suasana keluarga yang fungsional merupakan faktor penentu yang sangat berarti bagi berkembangnya mental yang sehat para anggota keluarga tersebut. Apabila orang tua (suami-istri) tidak bisa menciptakan kondisi keluarga seperti tersebut di atas, maka berarti keluarga tersebut mengalami disfungsional (seperti hubungan antar anggota keluarga atau suami-istri tidak harmonis, miskin kasih sayang, kurang adanya perawatan dan pendidikan bagi anak, ekonomi yang morat-marit, dan tidak taat beragama). Suasana keluarga yang disfungsional ini sangat berpengaruh terhadap perkembangan mental yang tidak sehat bagi para anggota keluarga tersebut.
6. Memiliki komitmen diri untuk senantiasa mengamalkan ajaran agama (beribadah) dengan sebaik-baiknya, baik yang bersifat hablumminallah maupun hablumminannas. Ibadah yang bersifat hablumminallah, seperti melaksanakan shalat, shaum, haji, membaca al-Quran, berdo’a, dan memberi zakat atau shadaqah. Sementara ibadah yang bersifat hablumminannaas, seperti : berthalabul ‘ilmi (mencari ilmu), menyebarkan ilmu, bersilaturahim (menjalin persaudaraan), dan berpartisipasi aktif dalam menciptakan kehidupan sosial kemasyarakatan yang damai dan sejahtera.
7. Memiliki sikap dan kebiasaan belajar atau bekerja yang positif. Seorang siswa atau mahasiswa yang memiliki sikap positif terhadap pelajaran atau perkuliahan, dia akan menghadapi semua aktivitas atau tugas-tugas yang dihadapinya secara sehat, tetapi bagi yang bersikap negatif, kemungkinan besar dia akan mengalami stres jika menghadapi tugas-tugas yang harus dikerjakannya, atau dia bersikap malas untuk mengikuti pelajaran atau perkuliahan yang dipandangnya sulit. Begitupun seorang pegawai, guru, atau dosen, apabila dia menyenangi bidang pekerjaannya, maka dia akan merasa ringan atau mengalami kepuasan untuk mengerjakan tugas-tugas yang dibebankan kepadanya.
8. Memahami masalah dan menghadapinya secara wajar, tabah atau sabar. Dalam hal ini individu perlu memahami bahwa setiap orang dalam menjalani kehidupannya akan mengalami suatu masalah (musibah). Apakah masalah itu terjadi sebagai akibat dari kekeliruan, kealpaan dirinya, atau sebagai suratan taqdir Ilahi yang terjadinya di luar dugaan (jangkauan pemikiran) atau di luar keinginan. Musibah itu seperti : penyakit, kemiskinan, kecelakaan, pengangguran, kehilangan pekerjaan (di PHK), kesulitan menemukan jodoh, perceraian, kematian seseorang yang dicintai, kegagalan dalam mencapai cita-cita, punya wajah yang jelek, tubuh yang tidak ideal (kurus,pendek-kerdil, atau gemuk-gembrot), orang tua yang galak atau kasar (bagi anak), dan anak yang nakal (bagi orang tua). Kondisi seperti itu akan menimbulkan mental yang sehat atau sakit, menjadi pemicu stress atau tidak, amat tergantung kepada pemahaman dan sikap individu itu sendiri terhadap musibah tersebut. Apabila dia memahami bahwa hal itu merupakan musibah (ujian) dari Allah yang harus diterimanya dengan ikhlas atau sabar, maka dia tidak akan mengalami stress, dalam arti dia akan memiliki mental yang sehat. Tetapi apabila dia merasa tidak nyaman atau tidak mau menerima musibah di atas sebagai kenyataan hidup yang harus dihadapinya secara tabah, maka dia akan mengalami stress (mental yang tidak sehat), yang pada gilirannya akan menjadi penghambat bagi dirinya dalam mengembangkan potensi dirinya secara optimal. Masalah yang dihadapi setiap orang mungkin berbeda satu sama lainnya. Masalah seorang anak akan lain dengan masalah yang dihadapi remaja atau orang dewasa; masalah yang dihadapi pejabat atau pimpinan akan lain dengan masalah bawahan atau karyawan; masalah yang dihadapi petani akan berbeda dengan masalah yang dihadapi pedagang, dan sebagainya. Bagi seorang muslim yang memahami sabda Nabi Muhammad Rasulullah Saw di bawah ini, maka dia akan ikhlas dan tabah menghadapi semua musibah yang menimpa dirinya. Sabda Rasulullah ini diriwayatkan oleh imam Bukhari dari Ibnu Mas’ud, yaitu : “Tiada seorang muslim pun yang mengalami musibah sakit atau yang selainnya, kecuali akan dihapus dosanya, seperti daun yang berguguran dari pohonnya”.
9. Memahami faktor-faktor yang menyebabkan timbulnya masalah atau stress. Dengan memahaminya, individu akan dapat menganalisis berbagai alternatif pemecahannya, dan dia akan mendapat pengalaman yang berharga untuk tidak mengulangi, melakukan atau mendekati faktor-faktor tersebut. Contoh : seorang pelajar mengalami stress karena tidak lulus ujian. Agar stress itu tidak berkelanjutan, maka disamping memahami dan menerima peristiwa itu secara wajar, maka dia perlu memahami faktor-faktor yang menyebabkan kegagalan dalam ujiannya. Apabila dia telah menemukannya, umpamanya kegagalan itu karena dia tidak pernah belajar dengan baik, dan waktunya sering digunakan untuk bermain, maka sebaiknya dia tidak mengulang kembali perbuatannya itu, dan sebaliknya dia bersungguh-sungguh belajar untuk menebus kegagalannya tersebut.
10. Mampu merubah persepsi atau minat. Contoh : bagi individu yang mempersepsi bahwa harga diri seseorang itu terletak pada jenis kendaraan yang dipakainya, pakaian yang mahal, atau kelas sosial ekonomi yang tinggi, maka dia akan mengalami stress apabila keberadaan dirinya tidak sesuai dengan kondisi yang dipersepsinya tersebut. Untuk menghilangkan stress pada dirinya, maka dia harus merubah persepsinya atau cara berpikirnya, yaitu bahwa harga diri seseorang itu tidak terletak pada hal-hal yang telah disebutkan di atas, tetapi pada kualitas pribadinya (akhlaknya atau ketakwaannya).
11. Mampu mengambil hikmah dari musibah (masalah) yang dialami. Penyesalan hanya akan menghalangi langkah selanjutnya. Kecewa boleh saja, tetapi berusahalah (berikhtiarlah) dengan sungguh-sungguh agar tidak mengalami kecewa yang kedua kalinya. Yakinilah bahwa setiap musibah, atau ujian yang diberikan Allah, pasti ada hikmahnya (nilai kebaikan, anugrah, atau peningkatan kualitas iman), meskipun wujudnya tidak selalu diketahui atau dirasakan secara langsung. Keyakinan seseorang akan adanya hikmah dari setiap musibah yang dialaminya akan mengembangkan sikap hidup yang optimis, dan akan terhindar dari situasi frustrasi.
12. Mampu mengontrol emosi dan berusaha meredamnya dengan introspeksi diri. Apabila menghadapi suatu masalah jangan mereaksi atau meresponnya secara berlebih-lebihan, seperti : bersikap agresif, baik secara (a) verbal (marah-marah atau menyalahkan orang lain yang dipandang sebagai penyebab masalah yang dihadapinya), maupun (b) non-verbal (seperti memukul, menendang, menampar, atau merusak barang-barang), atau bersifat regresif (kekanak-kanakan, seperti menangis dengan menjerit-jerit). Tetapi responlah masalah itu dengan pikiran dan hati yang jernih, karena mungkin saja yang menjadi faktor penyebabnya berasal dari diri sendiri.

D. Bidang Konseling
Konseling islami terkait dengan pengembangan potensi atau fitrah individu, dan juga masalah-masalah yang dialaminya. Manusia memiliki fitrah untuk berkembang ke arah kehidupan yang bermakna. Dalam hal ini konseling memfasilitasi individu agar berkembang menjadi manusia yang produktif dan kontributif. Produktif artinya individu memiliki ciri-ciri pribadi yang sehat (fisik dan mental), bertanggung jawab, jujur, berilmu, beretos kerja yang tinggi, kaya gagasan, dan memiliki kemampuan dalam menghadapi berbagai tantangan kehidupan. Sementara kontributif berarti bahwa individu memiliki ciri pribadi yang “anfa’uhum linnaas”, yaitu bersikap altruis, ta’awun bilma’ruf, atau ber’amar ma’ruf - nahyi munkar. Dalam hal ini individu menampilkan sikap dan perbuatan yang memberikan nilai manfaat bagi kesejahteraan hidup bersama, baik melalui tenaga, harta kekayaan, atau ilmunya.
Adapun bidang konseling yang terkait dengan masalah-masalah yang mungkin dilamai individu dapat dikategorikan ke dalam bidang pribadi, sosial, pernikahan dan keluarga, serta pekerjaan (karir). Masing-masing bidang itu dijelaskan sebagai berikut.
1. Bidang Pribadi, yaitu menyangkut masalah-masalah yang bersifat pribadi, atau berakhlak buruk, seperti : musyrik kepada Allah, bersikap egois/selfish, su’udhon, munafiq, dan frustrasi dalam menghadapi kehidupan (musibah). Untuk mencegah berkembangnya sifat-sifat yang tidak baik pada diri individu, maka melalui konseling dikembangkan (a) kesadaran akan jati dirinya sebagai hamba dan khalifah Allah, (b) pemahaman dan kemampuan untuk menampilkan pribadi yang berakhlakul karimah, (c) pemahaman akan romantika kehidupan antara nikmat dan musibat, kesulitan dan kemudahan, dan (c) kemampuan untuk mewujudkan dirinya sebagai “khairun naas anfa’uhum linnaas”.
2. Bidang Sosial. Individu sebagai makhluk sosial, yang mau tidak mau dalam kehidupannya akan senantiasa berinteraksi dengan orang lain yang memiliki karakteristik yang beragam. Keragaman karakteristik itu bisa berbentuk pendapat, kemampuan, kepentingan, status sosial ekonomi, latar belakang suku dan budaya, latar belakang agama, dan latar belakang tingkat pendidikan. Keragaman ini di samping dapat memperkaya hazanah budaya bangsa, tetapi juga potensial untuk menimbulkan konflik atau disharmonisasi interaksi sosial (baik antar individu atau kelompok). Ketidakharmonisan interaksi sosial itu, seperti : sikap saling curiga atau prasangka buruk antar golongan, tindak kekarasan di kalangan warga masyarakat, dan konflik antar umat beragama. Untuk mencegah konflik tersebut, maka melalui konseling, individu dibantu untuk mengembangkan sikap-sikap sosial, seperti : ta’awun bil ma’ruf (altruis), silaturahim, empati, kooperasi, dan toleransi.
3. Bidang Pernikahan dan Keluarga. Pernikahan merupakan lembaga keagaamaan yang bersifat sakral yang memberikan legalitas (penghalalan) terhadap pergaulan antara dua insan yang berlainan jenis (pria-wanita). Dalam kehidupan nyata dewasa ini, tidak sedikit orang yang melecehkan pernikahan ini. Mereka banyak yang mengambil jalan pintas dalam memenuhi kebutuhan biologisnya (nafsu birahi). Hal ini terjadi, mungkin disebabkan oleh ketidakpahaman mereka terhadap makna dan fungsi pernikahan, kaidah-kaidah pergaulan yang islami; atau karena tidak mampu mengendalikan diri dari perbuatan ma’shiyat, sehingga mudah luluh dan pasrah terhadap rayuan nafsu (impulsif). Untuk mencegah terjadinya hal tersebut, individu perlu diberikan konseling (marriage counseling), agar memiliki pemahaman akan kaidah pergaulan yang islami, pemahaman dan sikap yang positif terhadap pernikahan, dan kemampuan untuk mengendalikan diri dari perbuatan ma’shiyat. Pernikahan ini melahirkan keluarga, yang terdiri dari suami-istri, ayah-ibu dan anak. dalam keluarga inilah, penataan kehidupan pribadi dan sosial kemasyarakatan dimulai. Keharmonisan interaksi antar anggota keluarga, yang didasari nilai-nilai agama akan memperlancar penataan tersebut, dan dapat mengembangkan pribadi anak yang berakhlakul karimah (waladun shaleh). Tetapi apabila terjadi ketidakharmonisan, broken home, atau konflik berkepanjangan antara suami-istri, atau orang tua-anak, maka keluarga tersebut menjadi sumber malapetaka atau sumber stress (stressor) bagi para anggota keluarga (terutama bagi anak). Dalam kondisi inilah para anggota keluarga perlu mendapat konseling (family counseling), agar masing-masing mampu menampilkan sikap dan perilaku yang diharapkan, dan menunjang terhadap terciptanya keluarga yang sakinah, mawaddah, warahmah.
4. Belajar (Thalabul ‘Ilmi). Dalam islam belajar atau mencari ilmu (thalabul’ilmi) hukumnya wajib. Banyak hadits yang menunjukkan bahwa belajar itu wajib, seperti : (a) thalabul ‘ilmi faridlatun ‘ala kulli muslimin (mencari ilmu wajiab bagi orang-orang islam), (b) uthlubul ilma walau bishshiin (carilah ilmu walau ke negeri Cina), dan (c) uthlubul ilma minal mahdi ilallahdi (carilah ilmu dari mulai buaian sampai liang lahad = prinsip life long learning). Yang menjadi masalah bagi umat islam dewasa ini adalah bahwa di kalangan umat islam belum tercipta budaya belajar yang diharapkan, semangat belajarnya masih lemah, sehingga tingkat pendidikannya relatif masih rendah dibandingkan dengan orang lain. Hal ini berdampak kepada lemahnya penguasaan umat islam dalam bidang ilmu dan teknologi, serta sektor ekonomi. Berasarkan fenomena tersebut, maka kepada uamat islam perlu diberikan layanan konseling agar mereka (terutama di kalangan pelajar dan mahasiswa) memiliki kesadaran belajar sepanjang hayat, dan memperoleh pencerahan pemikiran, semangat atau motivasi yang menggelora untuk belajar atau berthalabul ‘ilmi..
5. Pekerjaan (Karir). Untuk memenuhi hajat (kebutuhan) hidupnya, manusia dituntut untuk bekerja atau berikhtiar mencari nafkah. Kepedulian konseling dalam kaitan dengan bidang pekerjaan ini adalah membantu individu agar (a) menyadari bahwa bekerja itu merupakan salah satu kewajiban agama (kegiatan yang bernilai ibadah), (b) memiliki sikap positif terhadap pekerjaan yang halal, (c) memiliki etos kerja yang tinggi, dan (d) menggunakan atau memanfaatkan hasil pekerjaannya untuk kepentingan pribadi dan keluarga serta infaq fiisabilillaah.

E. Kegiatan Layanan
Kegiatan konseling dapat dilakukan dengan beberapa layanan bantuan, yaitu : tabayyun, al-hikmah, mau’idlah, dan mujadalah. Masing-masing layanan itu diuraikan sebagai berikut.
1. Tabayyun, yaitu memperoleh kejelasan informasi atau data mengenai pribadi klien. Layanan ini berkaitan dengan upaya memahami karakteristik pribadi klien sebelum memberikan treatment atau intervensi. Langkah ini sangat baik, karena dapat mencegah terjadinya kesalahan atau kekeliruan dalam memberikan konseling.
2. Al-Hikmah, yaitu memberikan wawasan keilmuan atau memberikan informasi tentang berbagai hal yang bermakna bagi klien dalam upaya mengembangkan atau mengaktualisasikan potensi dirinya. Informasi yang diberikan itu seperti : hakikat jati diri sebagai hamba dan khalifah Allah, tugas dan tujuan hidup di dunia, karakteristik akhlak mulia, prinsip-prinsip belajar dalam islam, romantika kehidupan menurut islam, etika pergaulan dalam islam, dan konsep kerja dalam islam. Melalui pemberian informasi yang tersebut, diharapkan klien memiliki (a) kesadaran tentang makna hidupnya di dunia ini, (b) kemampuan untuk mengantisipasi berbagai kemungkinan yang akan terjadi, dan (c) terampil dalam mengambil keputusan atau menemukan alternatif yang paling baik bagi kehidupannya (bagi dirinya sendiri dan orang lain).
3. Mau’idhah (Taushiah), yaitu pemberian nasihat kepada klien yang mengalami masalah secara individual. Nasihat ini berisi berbagai petunjuk, ilustrasi, atau contoh-contoh kehidupan para rasul, sahabat, para ulama, atau para tokoh shaleh lainnya. Melalui taushiah ini diharapkan klien dapat menyelesaikan masalahnya, tercerahkan pikiran dan perasaannya, sehingga dapat menjalani kehidupan dengan penuh percaya diri, tawakal, bersyukur, dan bersabar.
4. Mujadalah, yaitu upaya menciptakan situasi yang dialogis dalam proses konseling secara kelompok. Disini konselor tidak mendominasi pembicaraan, atau memberikan indoktrinasi kepada klien, akan tetapi memberikan kesempatan atau peluang untuk berdiskusi, curah pendapat, mengemukakan pendapat atau masalahnya, sehingga terjadi dialog yang dapat mengembangkan pencerahan berpikir yang positif dan penyelesaian masalahnya secara tepat.

F. Karakteristik Konselor
Konselor yang islami adalah mereka yang memiliki karakteristik sebagai berikut.
1. Beriman dan bertaqwa kepada Allah SWT
2. Berakhlakul karimah (seperti jujur, bertanggung jawab, sabar, ramah, dan kreatif)
3. Memiliki kemampuan professional (memiliki wawasan keilmuan dan keterampilan dalam bidang konseling).
Berdasarkan paparan di atas, secara skematik konseling islami itu dapat dijelaskan pada bagan berikut

Tidak ada komentar:

Posting Komentar